Siang itu hari ke empat Lebaran idul fitri. Deru debu
mengiringi perjalanan mobil kami sekeluarga dari satu tempat ke tempat lain tuk
bersua handai taulan. Kembali kami mengatupkan dua belah tangan dan menjabat dengan
erat sembari berucap kata maaf. Setelah setahun tak bersapa, rasa rindu
membuncah bak dahaga dalam sahara. Bertatap muka dalam gelak tawa. Tak lama
tersodor kue kering sebagai hidangan pembuka. Rutinitas hari raya. Sebuah
panggung seremonial belaka jika tak dihayati sebagai bentuk kepasrahan pada
yang Kuasa.
Sebulan lalu bergelut dengan dahaga dan nestapa. Entah
bermuram durja atau suka ria menanti bedug berkumandang mengakhiri senja. Siang
menjelang sore, kuakhiri perjalanan. Kembali menuju bilik peraduan. Bangunan
yang kami sebut rumah. Rumah sebagai “Home”,
bukan sekedar “House”. Sore itu kami
berkendara roda empat dalam bayangan mentari yang capai melihat semrawutnya
lintas manusia. Dari dudukan belakang kutatap sang surya yang tak lagi
menunjukan sengat angkuh cahaya. Mengakhiri hari berganti rembulan. Terbayang
sepekan sebelumnya aku berada di tempat nan asing. Tanah rantau, lahan
pengabdian. Sebuah tempat tuk mempertaruhkan profesionalisme ketajaman analisis
masalah. Sebuah tempat dimana masyarakat memandang kami sebagai insan terdidik
yang dianggap tahu segala. Calon sarjana, lulusan almamater dengan nama yang
tidak main-main, tak pula ringan dipikul. Seluruh mata tertuju pada kami, dan
hanya mengetahui kalau kami bisa dan ahli. Tanpa memperhitungkan kami juga
manusia biasa dengan salah dan lupa sebagai sifat dasar.
Kembali memandangi mentari, kubayangkan memori suatu
sore berjalan di surutnya bahari. Menggulung celana panjang setinggi lutut demi
menapak air. Eksplorasi beragam spesies yang belum pernah kulihat. Terumbu
karang menyimpan kehidupan. Menopang tegaknya ekosistem air asin, memberikan
hasil yang dipungut manusia dengan nafsu serakahnya. Mengambil dan bahkan
mengeruk. Pernahkah kalian kawan mengenal istilah “semesta mendukung”?. Sebuah
karma hukum alam aksi-reaksi yang berputar sesuai kaidah keseimbangan
ekosistem, selalu menghindari beda potensial, mencari titik tumpu keseimbangan
tiap komponenya. Produk hukum alam inilah yang ditimpakan pada orang-orang
pesisir. Lautan menggertak. Tak ada rupiah dihasilkan dari terjaringnya ratusan
makhluk berinsang. Murka lautan yang mesti ditanggung. Akibat sewenang-wenang
dengan alam yang harusnya manusia bisa hidup bersanding dalam harmoni. Jikalau
tiap insan bisa berbuat lebih bijak berkawan dengan samudra, tak ada cerita
nyawa ikan berharga rendah. Besar pasak dari pada tiang.
Kami mengatur posisi terbaik mengabadikan tiap
detiknya pada bidikan kamera. Bernaung dibawah semburat senja yang kian menukik,
melukis bayangan diri yang makin panjang. Mengejar malam. Istilah setempat tuk
melihat pesona mentari tergelincir di ufuk barat. Sang mentari yang hampir
purna tugas pada hari itu masih saja mempertontonkan kemolekanya. Dalam gaun
jingga berselendang guratan awan, tubuh yang bulat sempurna. Bola gas raksasa
dengan angka suhu tak kurang dari 15ribu derajat celcius. Sengatan sinar yang
melegamkan kulit nelayan berpeluh, para pengendara ombak. Mematangkan tiap daun
di muka bumi hingga menghasilkan glukosa sebagai penggerak sendi anak manusia.
Namun tetap saja tiap anak manusia kadang lupa bersyukur Tuhan menyalakan sang
surya tuk lentera masa.
Kanoe tertambat pada seutas temali tampar berlatar
senja menjadi pemanja mata, menghadirkan sensasi tersendiri bagi sang pesolek
ulung ini. Tuhan ternyata tak membiarkan ciptaanya kesepian di tanah
pengabdian. Dia mengirimkan firman agung-Nya pada surya tenggelam tuk
menunjukan kuasa-Nya, meskipun secuil, namun mampu membuat manusia hina ini
setia mengiringi terlelapnya senja dalam selimut malam berhiaskan jutaan
kejora. Salah satu insan muda sempat mengabadikan momen percumbuanya dengan
sang surya meski hanya berangan tuk memeluknya. Digenggamnya senja dalam
bingkai. Bukti bahwa manusia tidaklah seberapa.
Senja nan elok bukti Sang Kuasa tak main-main mencipta
dunia. Pesisir desa nelayan Tambak menjadi saksi bisu kebodohan dan kelemahan
kami. Kelak dia akan bercerita pada tunas-tunas muda yang lahir di dunia.
Bercerita tentang sekelompok insan muda pengagum senja yang mengejar pesonanya. Pesona surya Tambak. Eson
tero ka Peno..
A. Rahman Alboneh
Posting Komentar