Mendung di pagi menyertai kedatangan armada kami di kota pesisir timur Jawa. Memasuki gerbang kota industri yang kondang karna semenya. Tak lama kemudian kami tiba di pemberhentian pertama. Rumah seorang sahabat. Tidak begitu besar namun cukup tuk kamisekedar meluruskan punggung dan bercengkrama selama beberapa hari sebelum mengembangkan layar ke pulau sebrang, Gresik. Kota kecil di timur, ramai, religius, hembusan angin pesisir, dan bongkar muat dermaga. Beberapa kata kunci yang kupikir cukup tuk menggambarkan kota mungil penuh cerita ini. Sembari menunggu jadwal kapal yang tak pasti,kulangkahkan kakiku meraba seluk beluk kota. Nasi krawu dan soto lamongan, dua hidangan kuliner pemanja lidah, kunikmati tiap sendoknya. Mengigau terbuai kelezatanya tak sadar mangkuk keduaku pun bersih.

Proses aklimatisasi tubuhku perlu sedikit waktu, tapi tak menghalangi tuk mencicipi hangatnya malam kota ini. Hingga ibu pemilik warung lesehan mengusir kami dengan halus,lantas kuhabiskan teh hangat yang menemaniku ngobrol bersama sahabat di alun-alun kota. Kami membunuh waktu luang dengan ngobrol “ngangkring” ala anak kos atau sekedar kongkow. Menghabiskan waktu berbalut gelak tawa, candaan, pujian, dan ejekan yang semakin larut mengalir fasih atas nama persahabatan. Rasa bosan yang memuncak suatu hari menggiring nurani melangkahkan kaki ke kota sebelah. Inisiasi seorang kawan memandu kami menghentikan putaran roda mobil angkutan umum warna hijau yang membawa kami menyusuri jalan besar nan ramai. Melewati hiruk pikuk kota industri.

Bangunan tua dan modern bersanding akur seolah sejarah kolonialisme tiada pernah memberikan bekas luka di kota perjuangan. Pencakar langit dan taman kota saling menaungi siapapun yang berjalan dengan langkah berat setelah seharian bergulat dengan peluh demi lembaran rupian, berharap esok dewi fortuna tersenyum lebih lebar.


Pilihan kami jatuh pada gedung pusat pertokoan di salah satu sudut kota perjuangan. Bangunan modern yang meyediakan tempat pemuas hasrat belanja, atau sekedar cuci mata. Mungkin cuci mata adalah pilihan kata yang cocok disandangkan pada kami, kelompok mahasiswa penyuka jalan-jalan. Sembari menyusun agenda selanjutnya, kami duduk di luar area mall. Kerabat salah seorang kawan yang tinggal di kota itu menjemput kami, berbaik hati memberi kami tumpangan tuk sekedar mengistirahatkan kaki yang lelah berpesiar.

Mentari semakin meninggalkan kami di belakang seiring putaran roda mobil yang melaju, meraba jalanan Surabaya yang seolah tak mengenal kata rehat. Kerabat kawan kami mengajak menyandarkan punggung di salah satu taman kota, melewati sebuah patung sosok buaya dan ikan hiu yang saling memangsa. Reptil purba dan predator utama air asin. Ikon kota yang mengandung banyak filosofi. Taman kota dalam senja mulai dikerumuni insan-insan dengan bermacam tujuan. Perkumpulan komunitas, bersantai menikmati malam, atau berbagai urusan kebutuhan asupan rohani.

Taman kota malam hari berhias lampu bermacam rupa. Tidak mau kehilangan moment, kami pun berpose riang dan membiarkan bidikan kamera menggranyangi tubuh kami. Beserta bukti otentik foto ini, ingin menegaskan eksistensi bahwa kami pernah menjamah tempat ini, kami rela berganti posisi. Blitz kamera berkilat tak kenal waktu. Hingga ada kekuatan yang mengusik keasyikan kami. Sebuah pesan singkat masuk ke telpon genggam setiap dari kami.

Instruksi rapat. Memaksa kami kembali ke kota pelabuhan, menyudahi berkubang di dunia malam Surabaya. Kota perjuangan dengan guratan luka yang menjelma nenjadi kekuatan baru di timur Jawa. Kota saksi bisu perjuangan bagaimana desing peluru dilawan bambu runcing. Kota dengan dinamika populasi yang nyaris tak pejam nadinya. Denyut nadi kendaraan dan deru asap saling berlomba mengisi pundi demi prestasi. Terpaksa kami melambai tangan tuk hari ini. Mengakhiri perjalanan singkat sarat makna. Surabaya oh Surabaya.

Bersambung...


A. Rahman Alboneh
0 Responses

Posting Komentar