Oleh : A. Rahman Alboneh

Masih hangat di benak kita kerusuhan daerah sampang, Madura yang merenggut tak sedikit jiwa. Konflik keagamaan masih sering mewarnai perjalanan bani adam. Tidak pula kita lupa akan peristiwa perang dunia kedua yang legendaris. Dataran eropa berkecamuk karena lagi-lagi masalah keyakinan diusung menjadi garda terdepan suatu alasan perampasan jiwa manusia. Konflik Serbia-Bosnia. Darah menjadi pelapis yang membasahi sepanjang jalan, tak kurang satu kilometer panjangnya. Lantas apakah beda anak ibu pertiwi dengan bangsa di belahan bumi lain yang tak beradab. Kita lahir ditengah bangsa dengan budaya kekeluargaan yang kental. Segala sesuatunya dikomunikasikan dengan gotong royong. Rembug warga adalah media terampuh negosiasi solusi, bukan doktrin sesat rasialis menghasut satu kelompok memerangi kelompok lain.
Akal budi yang diimplementasikan dalam kearifan lokal dan proses negosiasi  mewarnai kaidah komunikasi tiap insan. Perasaan legowo dan tepo sliro dijunjung tinggi tuk menjaga hati pihak yang “seolah dirugikan”. Itulah sekelumit perkamen tak tertulis yang melekat di tiap sanubari anak cucu ibu pertiwi. Berisikan kaidah komunikasi verbal yang secara tak langsung membentuk jiwa dan peradaban ketimuran yang luhur, ramah, permisif, dan penuh tenggang rasa.
Namun penulis merasa tergelitik dengan tragedi Sampang, Poso, atau konflik bertema keagamaan lainya yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Tragedi yang memberikan bekas luka dalam di wajah ibu pertiwi, mencabik kehormatan predikat masyarakat beradab, mengoyak kearifan batiniah sanubari yang menjunjung tinggi perkamen sarat moral. Penulis sungguh rindu akan kebersamaan gotong royong dan tenggang rasa antar penghuni rumah ibadah. Menunjukan betapa kita bangsa yang solid meski berbeda agama. Kita percaya akan satu Tuhan. Meski dalam tata cara berbakti kepada-Nya terdapat variasi nyata.
Itulah pesan yang hendak disampaikan garuda pancasila. Kebhinekaan kita saat ini sedang diuji. Akankan selogan kebanggan itu hanya menjadi satu dari sekian banyak kata kunci sakti yang diajarkan mata pelajaran PPKn sekolah dasar, dan kemudian berulang kali muncul dalam soal ujian atau kuis. Kita lantas menjawabnya dengan pandangan kosong dan goresan pena tak bermakna. Tak tahu betul makna Bhineka Tunggal Ika. Dan lucunya, hal ini tak jarang berlanjut hingga insan muda itu mulai menapaki masa akil baligh. Dengan masih bersandang baju putih abu-abu, menenteng badik dan bermacam benda tajam terhunus. Berjajar sambil meneriakan sumpah serapah. Memburu saudara sebangsa hanya karena mereka membawa nama almamater atau berkeyakinan “berbeda”. Tidak sedikit korban berjatuhan dan nyawa melayang karena “perbedaan rasialis” ini.
Atas dasar observasi ini penulis berani mengatakan selogan Negara ini tak lebih dari frase yang digaungkan secara seremonial di setiap jenjang pendidikan. Jikalau ingin kita mencari pesakitan atas fenomena ini, tak sedikit yang kan masuk hitungan. Tapi kawan, apalah artinya kambing hitam tuk dicari. Kita insan yang telah beranjak dewasa. Sudah sepatutnya dengan kapasitas kita sebagai makhluk bermoral, menjunjung tinggi konsistensi tanpa gengsi yang sedari dulu sudah dipesankan oleh founding father bangsa. Penulis teringat satu film yang diputar salah satu kelompok presentasi mahasiswa pada semester II dalam mata kuliah Kewarganegaraan.
Ditayangkan lima bocah dengan lima kitab suci berbeda. Bermain bersama, melewati masa kecil ceria penuh senyuman berkembang. Sampai suatu saat senyuman itu terllihat pudar dari salah satu kawan mereka. Sebut saja Han, seorang bocah yang dari namanya kita langsung tahu berasal dari etnis apa dia. Han, terancam cabut dari bangku sekolah karena dagangan bakpao orang tuanya tidak laku. Melihat ini, kawan –kawan lainya bersimpati dan ingin mengembalikan senyum dan keceriaan Han. Kepingan receh terkumpul. Modal awal tuk memulai usaha. Batang bambu dibelah. Kain panjang dicat warna merah dan kuning. Alat musik sederhana ditata. Sesosok kostum boneka ukuran besar tercipta. Dengan kepala warna merah, mata berkedip genit, mulut buka-tutup, berisikan bocah mungil di dalamnya.
Tarian barongsai berlatar suara musik sederhana membahana di suduk kota. Tepat di depan bocah Tionghoa bernama Han, ibunya, dan gerobak bakpao warna putih. Recehan dan lembaran rupiah terlempar seiring kostum singa Tionghoa itu meliuk mengedipkan mata. Penonton terhibur, mesti tujuan utamanya menghibur pembeli bakpao. Singkat cerita berkat recehan itulah senyum Han kembali mengembang. Mungkin kawan pernah mendengar judul film Cheng-cheng Po. Itulah salah satu guru virtual yang mengajarkan bagaimana harus bersikap dalam Nagari pengenut pluralisme.

Siang itu hari ke empat Lebaran idul fitri. Deru debu mengiringi perjalanan mobil kami sekeluarga dari satu tempat ke tempat lain tuk bersua handai taulan. Kembali kami mengatupkan dua belah tangan dan menjabat dengan erat sembari berucap kata maaf. Setelah setahun tak bersapa, rasa rindu membuncah bak dahaga dalam sahara. Bertatap muka dalam gelak tawa. Tak lama tersodor kue kering sebagai hidangan pembuka. Rutinitas hari raya. Sebuah panggung seremonial belaka jika tak dihayati sebagai bentuk kepasrahan pada yang Kuasa.
Sebulan lalu bergelut dengan dahaga dan nestapa. Entah bermuram durja atau suka ria menanti bedug berkumandang mengakhiri senja. Siang menjelang sore, kuakhiri perjalanan. Kembali menuju bilik peraduan. Bangunan yang kami sebut rumah. Rumah sebagai “Home”, bukan sekedar “House”. Sore itu kami berkendara roda empat dalam bayangan mentari yang capai melihat semrawutnya lintas manusia. Dari dudukan belakang kutatap sang surya yang tak lagi menunjukan sengat angkuh cahaya. Mengakhiri hari berganti rembulan. Terbayang sepekan sebelumnya aku berada di tempat nan asing. Tanah rantau, lahan pengabdian. Sebuah tempat tuk mempertaruhkan profesionalisme ketajaman analisis masalah. Sebuah tempat dimana masyarakat memandang kami sebagai insan terdidik yang dianggap tahu segala. Calon sarjana, lulusan almamater dengan nama yang tidak main-main, tak pula ringan dipikul. Seluruh mata tertuju pada kami, dan hanya mengetahui kalau kami bisa dan ahli. Tanpa memperhitungkan kami juga manusia biasa dengan salah dan lupa sebagai sifat dasar.
Kembali memandangi mentari, kubayangkan memori suatu sore berjalan di surutnya bahari. Menggulung celana panjang setinggi lutut demi menapak air. Eksplorasi beragam spesies yang belum pernah kulihat. Terumbu karang menyimpan kehidupan. Menopang tegaknya ekosistem air asin, memberikan hasil yang dipungut manusia dengan nafsu serakahnya. Mengambil dan bahkan mengeruk. Pernahkah kalian kawan mengenal istilah “semesta mendukung”?. Sebuah karma hukum alam aksi-reaksi yang berputar sesuai kaidah keseimbangan ekosistem, selalu menghindari beda potensial, mencari titik tumpu keseimbangan tiap komponenya. Produk hukum alam inilah yang ditimpakan pada orang-orang pesisir. Lautan menggertak. Tak ada rupiah dihasilkan dari terjaringnya ratusan makhluk berinsang. Murka lautan yang mesti ditanggung. Akibat sewenang-wenang dengan alam yang harusnya manusia bisa hidup bersanding dalam harmoni. Jikalau tiap insan bisa berbuat lebih bijak berkawan dengan samudra, tak ada cerita nyawa ikan berharga rendah. Besar pasak dari pada tiang.
Kami mengatur posisi terbaik mengabadikan tiap detiknya pada bidikan kamera. Bernaung dibawah semburat senja yang kian menukik, melukis bayangan diri yang makin panjang. Mengejar malam. Istilah setempat tuk melihat pesona mentari tergelincir di ufuk barat. Sang mentari yang hampir purna tugas pada hari itu masih saja mempertontonkan kemolekanya. Dalam gaun jingga berselendang guratan awan, tubuh yang bulat sempurna. Bola gas raksasa dengan angka suhu tak kurang dari 15ribu derajat celcius. Sengatan sinar yang melegamkan kulit nelayan berpeluh, para pengendara ombak. Mematangkan tiap daun di muka bumi hingga menghasilkan glukosa sebagai penggerak sendi anak manusia. Namun tetap saja tiap anak manusia kadang lupa bersyukur Tuhan menyalakan sang surya tuk lentera masa.
Kanoe tertambat pada seutas temali tampar berlatar senja menjadi pemanja mata, menghadirkan sensasi tersendiri bagi sang pesolek ulung ini. Tuhan ternyata tak membiarkan ciptaanya kesepian di tanah pengabdian. Dia mengirimkan firman agung-Nya pada surya tenggelam tuk menunjukan kuasa-Nya, meskipun secuil, namun mampu membuat manusia hina ini setia mengiringi terlelapnya senja dalam selimut malam berhiaskan jutaan kejora. Salah satu insan muda sempat mengabadikan momen percumbuanya dengan sang surya meski hanya berangan tuk memeluknya. Digenggamnya senja dalam bingkai. Bukti bahwa manusia tidaklah seberapa.
Senja nan elok bukti Sang Kuasa tak main-main mencipta dunia. Pesisir desa nelayan Tambak menjadi saksi bisu kebodohan dan kelemahan kami. Kelak dia akan bercerita pada tunas-tunas muda yang lahir di dunia. Bercerita tentang sekelompok insan muda pengagum senja  yang mengejar pesonanya. Pesona surya Tambak. Eson tero ka Peno..




A. Rahman Alboneh
Yogyakarta, 25-8-2012
oleh : Ramdhani Bangun Saputra


Pulau Bawean
Tersebutlah Bawean, sebuah pulau seluas 196 km2 yang terletak di sebelah Barat Laut Madura. Pulau kecil ini dihuni sekitar 74.000 jiwa  penduduk menurut data sensus tahun 2009. Meski demikian, lebih dari 50% jumlah populasi laki-laki hijrah keluar pulau untuk bekerja. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai TKI di Malaysia dan Singapura, selebihnya bekerja di kapal-kapal pencari ikan.


Secara administrasi, pulau ini dibagi menjadi dua buah kecamatan yaitu Kecamatan Tambak di bagian Utara dan Sangkapura di sebelah Selatannya. Wilayah Sangkapura memiliki jumlah penduduk yang lebih padat daripada Tambak, dan tentu saja mempunyai dinamika kehidupan masyarakat yang lebih cepat namun rumit. Kedua kecamatan ini mempunya potensi hasil perikanan laut yang besar.

Label: 1 komentar |