Oleh : A. Rahman Alboneh

Masih hangat di benak kita kerusuhan daerah sampang, Madura yang merenggut tak sedikit jiwa. Konflik keagamaan masih sering mewarnai perjalanan bani adam. Tidak pula kita lupa akan peristiwa perang dunia kedua yang legendaris. Dataran eropa berkecamuk karena lagi-lagi masalah keyakinan diusung menjadi garda terdepan suatu alasan perampasan jiwa manusia. Konflik Serbia-Bosnia. Darah menjadi pelapis yang membasahi sepanjang jalan, tak kurang satu kilometer panjangnya. Lantas apakah beda anak ibu pertiwi dengan bangsa di belahan bumi lain yang tak beradab. Kita lahir ditengah bangsa dengan budaya kekeluargaan yang kental. Segala sesuatunya dikomunikasikan dengan gotong royong. Rembug warga adalah media terampuh negosiasi solusi, bukan doktrin sesat rasialis menghasut satu kelompok memerangi kelompok lain.
Akal budi yang diimplementasikan dalam kearifan lokal dan proses negosiasi  mewarnai kaidah komunikasi tiap insan. Perasaan legowo dan tepo sliro dijunjung tinggi tuk menjaga hati pihak yang “seolah dirugikan”. Itulah sekelumit perkamen tak tertulis yang melekat di tiap sanubari anak cucu ibu pertiwi. Berisikan kaidah komunikasi verbal yang secara tak langsung membentuk jiwa dan peradaban ketimuran yang luhur, ramah, permisif, dan penuh tenggang rasa.
Namun penulis merasa tergelitik dengan tragedi Sampang, Poso, atau konflik bertema keagamaan lainya yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Tragedi yang memberikan bekas luka dalam di wajah ibu pertiwi, mencabik kehormatan predikat masyarakat beradab, mengoyak kearifan batiniah sanubari yang menjunjung tinggi perkamen sarat moral. Penulis sungguh rindu akan kebersamaan gotong royong dan tenggang rasa antar penghuni rumah ibadah. Menunjukan betapa kita bangsa yang solid meski berbeda agama. Kita percaya akan satu Tuhan. Meski dalam tata cara berbakti kepada-Nya terdapat variasi nyata.
Itulah pesan yang hendak disampaikan garuda pancasila. Kebhinekaan kita saat ini sedang diuji. Akankan selogan kebanggan itu hanya menjadi satu dari sekian banyak kata kunci sakti yang diajarkan mata pelajaran PPKn sekolah dasar, dan kemudian berulang kali muncul dalam soal ujian atau kuis. Kita lantas menjawabnya dengan pandangan kosong dan goresan pena tak bermakna. Tak tahu betul makna Bhineka Tunggal Ika. Dan lucunya, hal ini tak jarang berlanjut hingga insan muda itu mulai menapaki masa akil baligh. Dengan masih bersandang baju putih abu-abu, menenteng badik dan bermacam benda tajam terhunus. Berjajar sambil meneriakan sumpah serapah. Memburu saudara sebangsa hanya karena mereka membawa nama almamater atau berkeyakinan “berbeda”. Tidak sedikit korban berjatuhan dan nyawa melayang karena “perbedaan rasialis” ini.
Atas dasar observasi ini penulis berani mengatakan selogan Negara ini tak lebih dari frase yang digaungkan secara seremonial di setiap jenjang pendidikan. Jikalau ingin kita mencari pesakitan atas fenomena ini, tak sedikit yang kan masuk hitungan. Tapi kawan, apalah artinya kambing hitam tuk dicari. Kita insan yang telah beranjak dewasa. Sudah sepatutnya dengan kapasitas kita sebagai makhluk bermoral, menjunjung tinggi konsistensi tanpa gengsi yang sedari dulu sudah dipesankan oleh founding father bangsa. Penulis teringat satu film yang diputar salah satu kelompok presentasi mahasiswa pada semester II dalam mata kuliah Kewarganegaraan.
Ditayangkan lima bocah dengan lima kitab suci berbeda. Bermain bersama, melewati masa kecil ceria penuh senyuman berkembang. Sampai suatu saat senyuman itu terllihat pudar dari salah satu kawan mereka. Sebut saja Han, seorang bocah yang dari namanya kita langsung tahu berasal dari etnis apa dia. Han, terancam cabut dari bangku sekolah karena dagangan bakpao orang tuanya tidak laku. Melihat ini, kawan –kawan lainya bersimpati dan ingin mengembalikan senyum dan keceriaan Han. Kepingan receh terkumpul. Modal awal tuk memulai usaha. Batang bambu dibelah. Kain panjang dicat warna merah dan kuning. Alat musik sederhana ditata. Sesosok kostum boneka ukuran besar tercipta. Dengan kepala warna merah, mata berkedip genit, mulut buka-tutup, berisikan bocah mungil di dalamnya.
Tarian barongsai berlatar suara musik sederhana membahana di suduk kota. Tepat di depan bocah Tionghoa bernama Han, ibunya, dan gerobak bakpao warna putih. Recehan dan lembaran rupiah terlempar seiring kostum singa Tionghoa itu meliuk mengedipkan mata. Penonton terhibur, mesti tujuan utamanya menghibur pembeli bakpao. Singkat cerita berkat recehan itulah senyum Han kembali mengembang. Mungkin kawan pernah mendengar judul film Cheng-cheng Po. Itulah salah satu guru virtual yang mengajarkan bagaimana harus bersikap dalam Nagari pengenut pluralisme.

Siang itu hari ke empat Lebaran idul fitri. Deru debu mengiringi perjalanan mobil kami sekeluarga dari satu tempat ke tempat lain tuk bersua handai taulan. Kembali kami mengatupkan dua belah tangan dan menjabat dengan erat sembari berucap kata maaf. Setelah setahun tak bersapa, rasa rindu membuncah bak dahaga dalam sahara. Bertatap muka dalam gelak tawa. Tak lama tersodor kue kering sebagai hidangan pembuka. Rutinitas hari raya. Sebuah panggung seremonial belaka jika tak dihayati sebagai bentuk kepasrahan pada yang Kuasa.
Sebulan lalu bergelut dengan dahaga dan nestapa. Entah bermuram durja atau suka ria menanti bedug berkumandang mengakhiri senja. Siang menjelang sore, kuakhiri perjalanan. Kembali menuju bilik peraduan. Bangunan yang kami sebut rumah. Rumah sebagai “Home”, bukan sekedar “House”. Sore itu kami berkendara roda empat dalam bayangan mentari yang capai melihat semrawutnya lintas manusia. Dari dudukan belakang kutatap sang surya yang tak lagi menunjukan sengat angkuh cahaya. Mengakhiri hari berganti rembulan. Terbayang sepekan sebelumnya aku berada di tempat nan asing. Tanah rantau, lahan pengabdian. Sebuah tempat tuk mempertaruhkan profesionalisme ketajaman analisis masalah. Sebuah tempat dimana masyarakat memandang kami sebagai insan terdidik yang dianggap tahu segala. Calon sarjana, lulusan almamater dengan nama yang tidak main-main, tak pula ringan dipikul. Seluruh mata tertuju pada kami, dan hanya mengetahui kalau kami bisa dan ahli. Tanpa memperhitungkan kami juga manusia biasa dengan salah dan lupa sebagai sifat dasar.
Kembali memandangi mentari, kubayangkan memori suatu sore berjalan di surutnya bahari. Menggulung celana panjang setinggi lutut demi menapak air. Eksplorasi beragam spesies yang belum pernah kulihat. Terumbu karang menyimpan kehidupan. Menopang tegaknya ekosistem air asin, memberikan hasil yang dipungut manusia dengan nafsu serakahnya. Mengambil dan bahkan mengeruk. Pernahkah kalian kawan mengenal istilah “semesta mendukung”?. Sebuah karma hukum alam aksi-reaksi yang berputar sesuai kaidah keseimbangan ekosistem, selalu menghindari beda potensial, mencari titik tumpu keseimbangan tiap komponenya. Produk hukum alam inilah yang ditimpakan pada orang-orang pesisir. Lautan menggertak. Tak ada rupiah dihasilkan dari terjaringnya ratusan makhluk berinsang. Murka lautan yang mesti ditanggung. Akibat sewenang-wenang dengan alam yang harusnya manusia bisa hidup bersanding dalam harmoni. Jikalau tiap insan bisa berbuat lebih bijak berkawan dengan samudra, tak ada cerita nyawa ikan berharga rendah. Besar pasak dari pada tiang.
Kami mengatur posisi terbaik mengabadikan tiap detiknya pada bidikan kamera. Bernaung dibawah semburat senja yang kian menukik, melukis bayangan diri yang makin panjang. Mengejar malam. Istilah setempat tuk melihat pesona mentari tergelincir di ufuk barat. Sang mentari yang hampir purna tugas pada hari itu masih saja mempertontonkan kemolekanya. Dalam gaun jingga berselendang guratan awan, tubuh yang bulat sempurna. Bola gas raksasa dengan angka suhu tak kurang dari 15ribu derajat celcius. Sengatan sinar yang melegamkan kulit nelayan berpeluh, para pengendara ombak. Mematangkan tiap daun di muka bumi hingga menghasilkan glukosa sebagai penggerak sendi anak manusia. Namun tetap saja tiap anak manusia kadang lupa bersyukur Tuhan menyalakan sang surya tuk lentera masa.
Kanoe tertambat pada seutas temali tampar berlatar senja menjadi pemanja mata, menghadirkan sensasi tersendiri bagi sang pesolek ulung ini. Tuhan ternyata tak membiarkan ciptaanya kesepian di tanah pengabdian. Dia mengirimkan firman agung-Nya pada surya tenggelam tuk menunjukan kuasa-Nya, meskipun secuil, namun mampu membuat manusia hina ini setia mengiringi terlelapnya senja dalam selimut malam berhiaskan jutaan kejora. Salah satu insan muda sempat mengabadikan momen percumbuanya dengan sang surya meski hanya berangan tuk memeluknya. Digenggamnya senja dalam bingkai. Bukti bahwa manusia tidaklah seberapa.
Senja nan elok bukti Sang Kuasa tak main-main mencipta dunia. Pesisir desa nelayan Tambak menjadi saksi bisu kebodohan dan kelemahan kami. Kelak dia akan bercerita pada tunas-tunas muda yang lahir di dunia. Bercerita tentang sekelompok insan muda pengagum senja  yang mengejar pesonanya. Pesona surya Tambak. Eson tero ka Peno..




A. Rahman Alboneh
Yogyakarta, 25-8-2012
oleh : Ramdhani Bangun Saputra


Pulau Bawean
Tersebutlah Bawean, sebuah pulau seluas 196 km2 yang terletak di sebelah Barat Laut Madura. Pulau kecil ini dihuni sekitar 74.000 jiwa  penduduk menurut data sensus tahun 2009. Meski demikian, lebih dari 50% jumlah populasi laki-laki hijrah keluar pulau untuk bekerja. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai TKI di Malaysia dan Singapura, selebihnya bekerja di kapal-kapal pencari ikan.


Secara administrasi, pulau ini dibagi menjadi dua buah kecamatan yaitu Kecamatan Tambak di bagian Utara dan Sangkapura di sebelah Selatannya. Wilayah Sangkapura memiliki jumlah penduduk yang lebih padat daripada Tambak, dan tentu saja mempunyai dinamika kehidupan masyarakat yang lebih cepat namun rumit. Kedua kecamatan ini mempunya potensi hasil perikanan laut yang besar.

Label: 1 komentar |
Mendung di pagi menyertai kedatangan armada kami di kota pesisir timur Jawa. Memasuki gerbang kota industri yang kondang karna semenya. Tak lama kemudian kami tiba di pemberhentian pertama. Rumah seorang sahabat. Tidak begitu besar namun cukup tuk kamisekedar meluruskan punggung dan bercengkrama selama beberapa hari sebelum mengembangkan layar ke pulau sebrang, Gresik. Kota kecil di timur, ramai, religius, hembusan angin pesisir, dan bongkar muat dermaga. Beberapa kata kunci yang kupikir cukup tuk menggambarkan kota mungil penuh cerita ini. Sembari menunggu jadwal kapal yang tak pasti,kulangkahkan kakiku meraba seluk beluk kota. Nasi krawu dan soto lamongan, dua hidangan kuliner pemanja lidah, kunikmati tiap sendoknya. Mengigau terbuai kelezatanya tak sadar mangkuk keduaku pun bersih.

Proses aklimatisasi tubuhku perlu sedikit waktu, tapi tak menghalangi tuk mencicipi hangatnya malam kota ini. Hingga ibu pemilik warung lesehan mengusir kami dengan halus,lantas kuhabiskan teh hangat yang menemaniku ngobrol bersama sahabat di alun-alun kota. Kami membunuh waktu luang dengan ngobrol “ngangkring” ala anak kos atau sekedar kongkow. Menghabiskan waktu berbalut gelak tawa, candaan, pujian, dan ejekan yang semakin larut mengalir fasih atas nama persahabatan. Rasa bosan yang memuncak suatu hari menggiring nurani melangkahkan kaki ke kota sebelah. Inisiasi seorang kawan memandu kami menghentikan putaran roda mobil angkutan umum warna hijau yang membawa kami menyusuri jalan besar nan ramai. Melewati hiruk pikuk kota industri.


Halloo guys... Masih terbayang jelas perjalanan unit 197 kala itu, selama seharian penuh berkunjung ke beberapa tempat fenomenal di Bawean.. Sebut saja tanah lapang bakal Lapter, Gili Temor, Pulau Noko dan Danau Kastoba...

Yup, dalam ingatanku masih terekam jelas banget... Ketika itu, pagi- pagi buta mungkin sekitar jam 04.30 WIS (Waktu Indonesia Sakarepmu :D), pondokan putri telah ramai antrian untuk menggunakan kamar mandi. Kecuali aku, yang masih santai2 saja, hahaha..

Bagaimana tidak? Hari itu adalah hari kamis, tanggal 2 agustus 2012, telah dikukuhkan bahwa seharian itu akan menjadi FREE DAY dari Kerja Kerja Ngoyo (nyari kesibukan untuk memenuhi 288 jam) unit 197 yang selama kurang lebih telah sebulan menghabiskan waktu di bawean, khususnya di desa tambak.
Ceritanya, di hari itu kami akan melancong ke beberapa penjuru dimana kecantikan bawean dapat terpancar dengan dahsyat... :D

Setelah semua personil siap, kurang lebih jam 06.30 taxi bawean dari pak Ilham (sukarelawan tour guide kami; alumnus FISIPOL UGM; Kepala Desa Tanjung Ori) pun datang menjemput. Taxi pertama telah terpenuhi oleh putra- putra KKN Bawean, maka 1 taxi berikutnya adalah jatah untuk putri- putri KKN Bawean. Tapi 3 putra terpilih yaitu Kak Yudo, Mas Dimas dan Mas Banu mendapat kesempatan untuk menjaga para putri di taxi keputren.. :p

Taxi pun melenggok dengan santai di atas jalan aspal yang penuh bebatuan. Karena kondisi tersebut, tak heran jika masyarakat bawean sering menyebutnya jalanan sungai kering. Huffthh... ternyata jalanan berbatu itu jika harus dilalui beberapa waktu yang tergolong lama, maka akan mengakibatkan rasa tak nyaman, kantuk, pusing- pusing bahkan mual hingga muncul harapan yang besar untuk segera sampai ke spot sasaran. Hehe, itu yang kurasakan ketika itu..

Dan alhamdulillah, kami telah sampai di spot pertama, yaitu bakal lapangan terbang (julukan gaulnya adalah LAPTER) bawean yang ditargetkan selesai pembangunan pada tahun 2014 mendatang. Disana kita dapat melihat panorama kontras nan indah antara hijaunya bebukitan, birunya lautan, dan putih bersihnya awan di langit. Panorama ini pun tak kami sia- siakan. Dengan lihai, Mas Dimas langsung membidikkan DSLR- nya ke rombongan yang telah berjejer rapih membentuk barisan dan unjuk gaya masing- masing. Amazing...

Tak lama, taxi pun berjalan kembali, siap mengantarkan kami ke tujuan berikutnya, yaitu Gili Temor. Hmm... cukup lama juga perjalanan ini terasa. Dan sampailah kami di depan mini toserba. Kukira, kami akan mampir di rumah kerabat pak Ilham, seperti perjalanan sebelum- sebelumnya, hehe...
Eh, ternyata tebakanku salah... Kami diseru untuk berjalan melewati rumah itu, kemudian berjalan diantara pematang sawah dan terdapat jalan setapak berkarang di depan, disusul dengan desir lembut angin laut menerpa serta ombak dan gelombang kecilnya..

Perlahan kami meniti jalan setapak dari tumpukan karang itu dan berjalan penuh kehati- hatian di atas pasir berlumpur, menyeberangi laut yang sedang surut. Kurang lebih 5 meter di seberang sana, kapal telah siap mengangkut rombongan untuk berlayar ke gili (baca: pulau) seberang.

Satu per satu dari kami pun menaiki badan kapal itu. Wow... ternyata ombak kecil dan angin sedikit membuat kapal tak seimbang. Terdengar usulan kawan- kawan untuk menyewa satu kapal lagi dengan alasan demi keselamatan. Namun, kakek tua (Sang Empunya kapal) itu tak menghiraukan. Dengan bahasa Bawean, ia mengatakan bahwa satu kapal ini saja bisa dan memohon agar  teman- teman memasang posisi duduk manis di atas kapal agar lebih stabil. Setelah semua berada di atas kapal dan duduk di tempat masing- masing, maka Sang Kakek segera menyalakan mesin kapalnya. Dan kapal melaju dengan perlahan, membelah birunya air laut bawean. Sepanjang perjalanan, angin dan air sangat kompak menerpa wajah dan tubuh kami. Tapi kapal ini menunjukkan kehebatannya. Ia terus melaju perlahan, menentang ombak dan angin itu. Hingga mata kami tertuju pada satu obyek. Nun jauh disana, nampak pemandangan indah di pandang mata. Segaris pulau dengan pasir putihnya. Itukah gili temor??

Ohh... ternyata bukan.. hehe,
Itu adalah pulau noko. Kapal pun berlayar menjauh dari garis putih itu. Tak berapa lama, terlihat hijaunya bukit. Itulah gili temor. Tak lama, terlihat kapal- kapal nelayan terparkir rapih di pinggir pulau bernama Gili Temor. Berhubung laut sedang surut, maka kami pun harus berjalan membelah air laut yang begitu bersih. Bening sekali...

Kami pun menghampiri perkampungan kecil di pinggir laut itu. Semakin mendekat, ternyata terdapat beberapa penduduk yang sedang beraktivitas kala itu. Terlihat seorang ibu yang duduk di atas batu dan sedang memerhatikan rombongan kami.

Disini, Pak Ilham berperan sebagai tour guide kami. Beliau berjalan di depan rombongan dan memberikan alternatif wisata ini. Ia pun membelokkan rombongan pada segerombolan ibu- ibu yang sedang membakar ikan dan beberapa hewan laut lain. Dan yang kulihat ketika itu adalah teripang bakar (asap). Kemudian di sisi lain, terlihat bapak- bapak dan beberapa pemuda yang sedang memahat kayu untuk disusun menjadi kapal. Menurut informasi dari perajin terkait, pengerjaan kapal itu pun membutuhkan waktu yang cukup singkat, yaitu sekitar 2 bulan. Mengingat semuanya dikerjakan secara manual. Lagi- lagi aku berdecak kagum atas potensi yang terdapat di sini. Amazing.... :D

Selanjutnya, atas arahan dari pak ilham, kami pun berjalan mengelilingi perkampungan Gili Temor ini. Di sini hanya terdapat satu desa, satu mini toserba, satu SD, dan satu SMP (yang pendidikan sejajar dengan SMA, aku kurang tahu). Tak ada signal dari operator manapun disini. Dan di perkampungan ini, kemana pun aku berjalan, selalu saja terdengar suara tilawah penduduk sekitar di langgar- langgar kecil yang kusangka adalah rumah penduduk. Di pulau kecil ini, program pemerintah terkait kesehatan yaitu posyandu, alhamdulillah masih bisa dijalankan. Meski penuh dengan keterbatasan. Salah satu kegiatannya ialah membagi- bagikan susu bubuk bayi kepada orang tua yang tergolong tak mampu, penimbangan berat badan dan lain- lain. Masih di Gili Temor, perjalanan kami berlanjut. Kemudian kami melewati semacam tempat pengepul sampah, tapi nampaknya dugaanku salah. Tempat itu lebih pantas ditebak sebagai gardu listrik dengan menggunakan pembangkit listrik berupa generator bertenaga solar. Dan di sepanjang perjalananku mengelilingi kampung ini, tak kulihat satu pun lampu/ neon yang terpasang di teras rumah penduduk. Wow... benarkah ketika malam hari jalanan kampung ini akan gelap tanpa cahaya lampu???
Amazing... tak bisa kubayangkan jika dulu pilihan tempat KKN kami jatuh di Gili Temor ini.. hehe

By the way, cerita trip singkat ini ku- skip sampe sini dulu yaa guys... masih ada cerita tentang Pulau Noko dan Danau Kastobanya cyiiin, tapi nyusul yak... :D

 

Irma Yuniar P. R


Kala fajar menyibakkan pesona keindahannya, semerdu lantunan adzan subuh yang kian mengeras tidak jauh dari tempat tinggal sementara kami di Gresik. Seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya, kami mulai mengawali hari dengan kesibukkan yang telah menanti. Kami pun mulai menyiapkan barang pribadi maupun kelompok yang akan dibawa ke Pulau Bawean. Dengan suasana yang cukup santai, kami bersenda gurau satu sama lain, begitu hangat untuk mulai saling mengakrabkan. Inilah keluarga baru kami, KKN UGM unit 197. Walau mungkin kita baru kenal tidak lebih dari tiga bulan, kita sepakat untuk saling membuka diri menerima kenyataan bahwa kita memang saling membutuhkan.
Disela-sela kesibukkan, kami juga mulai bergantian untuk memanjakan diri. Membasuh seluruh tubuh, walau dengan air yang agak bau tanah. Maklum, rumah yang kami tinggali memang sedang direnovasi. Begitu pun dengan sumurnya, tak ayal air yang mengalir masih berwarna kecoklatan pertanda saluran airnya masih baru. Namun bagi kami ini sudah lebih dari cukup, karena jika kita menginap di hotel atau losmen tentu akan banyak menghabiskan dana kas kami. Beruntung, salah satu anggota kami masih mau menampung orang-orang koplak ini. Kami haturkan banyak terimakasih pada saudari Nisa atas tumpangan dan segala macam fasilitas gratisnya.
Sekitar pukul 7 pagi, kami mulai menuju pelabuhan Gresik dengan berjalan kaki. Wajar saja, karena lokasi pelabuhan cukup dekat dari rumah yang kami tinggali sementara. Sebuah rumah minimalis berwarna putih dengan banyak jendela yang berukuran besar. Pada Tembok depan rumah bagian bawah, ada sedikit hiasan batu sungai berwarna hitam pekat yang ditata menyerupai model bangunan jaman penjajahan Belanda. Meskipun luas bangunannya kecil selayaknya rumah minimalis pada umumnya, jendela besar itu cukup banyak menyediakan ruang udara sehingga rumah tidak terasa sumpek walau diisi oleh 21 anggota kami. Sedangkan kedua anggota tim kami yang lain yang berasal dari Gresik, yaitu Nisa dan Andik Setiawan tinggal di rumah keluarganya masing-masing dan baru bergabung dengan kami sekitar setengah jam yang lalu. Akhirnya, mereka berdua juga ikut bersama kami berjalan menuju pelabuhan. Sebuah kebersamaan yang hangat untuk mengawali indahnya hari ini.
Setibanya di pelabuhan, kami pun langsung disuguhkan gambaran sebuah keramaian. Memang inilah satu-satunya cara untuk bisa menjamah Pulau Bawean, sehingga penumpang yang ingin menuju Bawean semuanya bertumpuk di pelabuhan ini. Satu kapal, satu tujuan pelayaran dan satu kekerabatan. Tak jarang memang dalam satu kapal itu, sesama warga Bawean saling mengenal satu sama lain. Sungguh sistem primordial yang saat ini mulai sulit ditemukan dibeberapa wilayah Indonesia.
Selasa 10 Juli 2012 pukul 09.00 WIB bersama sebagian kecil warga Bawean, kami mulai menikmati laju kapal cepat BAHARI EXPRESS 1 C di atas alunan ombak pantai utara Jawa. Hmmm... Kami semakin tak sabar untuk segera tiba dipelukan Pulau Putri. Pulau yang kami yakini akan memberikan keramahan di pandangan pertamanya.




Fazlurrahman Al-Razie

Besok Selasa kemungkinan kita sudah bisa berlayar menuju Bawean”. Begitulah kalimat yang ramai dibincangkan teman-teman KKN Bawean akhir-akhir ini. Sudah seminggu lamanya, kami bergurau dengan ketidakpastian yang membosankan. Terhitung sejak kami memesan tiket pada tanggal 1 Juli 2012, kami sudah bosan untuk saling bergunjing bertemakan “manajemen transportasi kancut”.

Masih teringat jelas, bagaimana setiap harinya kami selalu menyempatkan diri untuk menghubungi pihak jasa transportasi yang bergerak di bidang pelayaran tersebut. Usaha kami tidak hanya sebatas menghubungi melalui sambungan telepon saja, kadangkala kami juga langsung mendatangi kantornya yang terletak tidak jauh dari parkiran makam sunan Malik Ibrahim. Setiap hari pula, kami selalu mendapatkan jawaban yang nyaris sama, “Mohon maaf, kami belum bisa memastikan keberangkatan kapal dari Gresik menuju Bawean karena belum ada kejelasan kabar mengenai cuaca dari BMKG”. Padahal, cuaca di hari-hari tersebut bagi kami terlihat biasa-biasa saja. Tiada sedikitpun cela dalam otak kami, untuk menerima argumen bahwa cuaca sedang buruk. Sial, apakah kami yang memang bodoh terhadap permasalahan cuaca. Atau kami memang sedang dibodohi? Entahlah…

Sekitar pukul 23.00 WIB (Jum’at, 6/7/2012),  salah satu teman kami membaca sebuah kabar gembira di situs bawean.net, sebuah website yang juga berisi berbagai macam informasi mengenai pulau Bawean. Dalam situs tersebut, ditulis bahwa kapal akan berangkat PP Bawean-Gresik pada hari (Sabtu, 7/7/2012) dan hari Minggu (8/7/2012). Namun, masih  saja kegembiraan itu terasa pahit bagi kami. “Tiket habis terjual …” begitulah kalimat penutup pada kabar yang tidak jadi menggembirakan itu.

Hari Jum’at lalu, tepatnya pukul 14.30 WIB kami masih sempat menghubungi pihak jasa transportasi melalui telepon seluler, jawaban yang kami terima tetap sama seperti hari-hari sebelumnya. Sampai saat itu pula, kami belum memegang satupun tiket yang telah kami pesan untuk keberangkatan 23 personil kami. Namun, kini semuanya telah menjadi jelas. Tiket sudah habis, tanpa ada sedikitpun kabar yang kami terima dari pihak penyedia jasa transportasi. Hmmm… percuma saja kami meninggalkan kontak kami yang bisa dihubungi jika pada akhirnya kami tidak pernah diinformasikan sedikitpun mengenai kejelasan jadwal keberangkatan. Sampai akhirnya (mungkin) tiket habis terjual dalam waktu setengah jam sebelum kantor tutup jam 15.00 WIB atau tepat 30 menit setelah telepon kami yang terakhir.

Sabtu 7 Juli 2012, perwakilan kami kembali mendatangi kantor jasa transport itu dengan sedikit kekesalan yang kami pendam. Kami pun kembali menanyakan kapan kami mulai bisa berangkat menuju Bawean. Kali ini, kami lebih hati-hati dan tidak mau dibodohi lagi. Surat izin yang kami terima dari pemda setempat pun tak lupa kami foto-copy untuk kami berikan pada mereka agar mereka tahu bahwa kami tidak main-main. Akhirnya, kami pun dijanjikan akan diberangkatkan pada hari Selasa (10/7/2012).

Hufth.. sungguh proses yang melelahkan, semoga selasa esok kami benar-benar telah menginjakkan kaki di pulau Bawean. Jujur, kami sudah tidak sabar lagi untuk belajar bersama-sama masyarakat pulau Bawean. Akhir kata, untuk teman teman-teman seperjuangan, mari kita luruskan kembali niat kita 






Fazlurrahman Al-Razie


Gresik, 9 Juli 2012